“Belajarlah menulis, maka kamu akan abadi !” begitu pesan dari Alm. Budiman S. Hartoyo, mantan wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO kepada saya 15 tahun yang lalu. Saat itu saya masih kuliah dan magang sebagai reporter lepas di Media Indonesia Minggu, tempat para wartawan Ex-Tempo berkarya setelah Tempo dibredel Soeharto.
Meski saya masih sangat junior dan masih bodoh, mas Bud begitu dia biasa dipanggil, selalu sabar mengajari bagaimana merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat yang enak dibaca dan perlu. BSH, singkatan namanya, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah 5 Desember 1938 ini, dikenal sebagai pendiri PWI Reformasi dan yang sampai akhir khayatnya, Kamis 11 Maret 2010, tetap konsisten sebagai jurnalis.
Kepergiannya terasa begitu cepat, hingga sahabat, kerabat, dan murid didiknya termasuk saya merasa belum cukup untuk mendapatkan semua ilmu penulisan jurnalisme sastrawi darinya. Mas Bud sendiri tak suka istilah itu, dia lebih suka menyebutnya sebagai jurnalisme literarair.
Tapi jangan sedih, karena sepertinya BSH tahu banyak dari kita yang masih kesulitan menulis berita atau feature. Dia mengumpulkan buah pikirannya mengenai dunia penulisan populer di blog pribadinya http://www.budimanshartoyo.blogspot.com/
Disitu BSH bercerita mengenai Basic Journalism serta tips dan trik membuat news feature yang disadurnya dari Buku Putih Tempo terbitan ISAI : Seandainya Saya Wartawan Tempo–ditulis Slamet Jabarudi, editor bahasa Majalah Tempo. Enaknya, BSH juga menyajikan contoh-contoh praktis, sehingga memudahkan kita untuk mempraktekkan penulisan berita dan feature.
BSH benar, raganya mungkin sudah didalam tanah, tapi karyanya menjadi ilmu yang bermanfaat dan tetap abadi sepanjang masa.
Leave a Reply